Bismillah.
Tidaklah diragukan bahwa keikhlasan merupakan syarat diterimanya amalan. Tanpa keikhlasan sebesar apapun suatu amal tidak akan diterima oleh Allah.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Setiap amal membutuhkan pondasi keikhlasan. Sementara amal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Oleh sebab itu ikhlas pun dibutuhkan dalam setiap bentuk amalan; apakah itu amalan lisan, amalan badan, amalan dalam bentuk harta, bantuan, berceramah, menulis, sholat, puasa, jihad, dsb. Semua amalan butuh kepada keikhlasan. Oleh sebab itu kita butuh banyak keikhlasan dalam kehidupan.
Hakikat keikhlasan itu sebagaimana dijelaskan para ulama adalah memurnikan Allah dalam niatnya untuk melakukan segala bentuk amal ketaatan. Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Orang yang ikhlas itu akan berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia berusaha menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.” Sebagian ulama menjelaskan, “Ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk/manusia dengan senantiasa memperhatikan terhadap pandangan/penilaian al-Khaliq/Allah.”
Pada waktu-waktu yang utama, keikhlasan juga semakin dibutuhkan. Hal itu telah diisyaratkan dalam banyak dalil. Diantaranya ketika menjelaskan tentang puasa Allah mengatakan bahwa ‘Puasa itu untuk-Ku…’ Para ulama menjelaskan hal itu dikarenakan dalam ibadah puasa itu sendiri sulit untuk dijadikan objek untuk riya’/mencari pujian orang lain, karena puasanya seseorang tidak bisa ditampilkan dengan mudah, berbeda dengan bacaan quran, ceramah, sholat, sedekah dsb yang notabene mudah diperlihatkan kepada manusia.
Pada amal-amal yang agung juga keikhlasan semakin ditekankan. Sebagaimana diisyaratkan dalam hadits yang menceritakan tentang 3 golongan yang menjadi bahan bakar api neraka pertama kali yaitu orang yang berjihad, bersedekah, dan yang belajar dan mengajarkan agama. Amal mereka hancur akibat lenyapnya keikhlasan.
Dari situlah para ulama memberikan gambaran kepada kita bahwa keikhlasan merupakan perjuangan yang tidak kenal henti. Sebagian mereka mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk mencapai keikhlasan.” Sebagian ulama juga berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit daripada niatku; karena niat itu sering berbolak-balik.”
Di dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat dan bercabang-cabang. Beliau bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang; yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu bentuk amal terbaik pada musim kurban adalah penyembelihan kurban. Dalam ibadah ini pun sangat ditekankan tentang pentingnya keikhlasan. Allah memerintahkan (yang artinya), “Maka sholatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah kurban -untuk Rabbmu-.” (al-Kautsar). Allah juga menegaskan dalam ayat (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darahnya; akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (al-Hajj : 37)
Begitulah semua ibadah tetap butuh kepada keikhlasan. Bahkan ibadah agung semacam sholat dan zakat pun tidak bisa lepas dari pondasi ikhlas. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Bahkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyebutkan kebutuhan kepada ikhlas itu sebanyak amal yang dikerjakan manusia. Beliau bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya akan dinilai dengan niat-niatnya, dan bagi setiap orang yang beramal balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sanalah kita bisa menyadari mengapa Allah tidak menerima amal-amal yang tercampuri syirik. Karena semua amal yang tidak dilandasi tauhid dan keikhlasan pada hakikatnya bukanlah amal ketaatan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu melakukan syirik pasti akan terhapus dari mereka segala amal yang dahulu pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Dari situlah para ulama sejak dulu kala selalu menempatkan pembahasan ikhlas dan tauhid sebelum pembahasan ilmu-ilmu agama yang lain karena ikhlas merupakan ruh dari amal salih. Itulah yang dilakukan Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Sahihnya dengan menempatkan hadits niat dalam urutan pertama dalam kitabnya, begitu pula Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya al-Arba’in Nawawiyah…
Keikhlasan dari dalam hati itulah yang akan membuat amal-amal yang tampak sederhana dan kecil berubah menjadi tabungan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya tanpa ikhlas maka amal-amal yang tampak hebat dan luar biasa justru menjadi musnah dan hancur sia-sia. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar justru berubah menjadi kecil/tidak berarti juga gara-gara niatnya.”
Semoga catatan singkat ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com